Kabupaten Brebes
Memperbaiki Mutu SDM
BREBES masih seperti dulu. Daerah ini tetap menjadi pintu gerbang Jawa Tengah pada sisi barat, berbatasan dengan dua daerah di Jabar: Cirebon dan Kuningan. Daerah ini juga belum beranjak dari sektor pertanian, karena investasi yang masuk di sektor perdagangan dan industri pengolahan tak sederas daerah tetangganya: Kota Tegal.
Ketika Anda memasuki Kota Brebes, atau kecamatan-kecamatan lain, pasti bersepakat bahwa kabupaten ini masih seperti dulu. Belum banyak perubahan fisik yang nyata, kendati Pemerintah Kabupaten (Pemkab) sudah berupaya maksimal dalam mengelola daerah dan berbagai potensinya.
Meski demikian, pembangunan jalan alternatif Bumiayu sepanjang 5,7 km yang diresmikan November 2004 layak diaspresiasi sebagai gagasan brilian Pemkab. Proyek ini tidak sekadar untuk mengurangi kemacetan di pusat Kota Bumiayu, atau mengurangi kepadatan arus kendaraan jurusan Purwokerto-Tegal.
Lebih dari itu, jalan alternatif ini dapat lebih memeratakan pertumbuhan perekonomian daerah, khususnya enam kecamatan di wilayah selatan yang dahulu terkesan ''dianaktirikan'', sehingga memunculkan wacana pembentukan kabupaten sendiri. Jalan alternatif di selatan Bumiayu ini merupakan tahap pertama, karena tahun depan akan dilanjutkan tahap kedua di utara kota kecamatan tersebut.
Sebagai pintu gerbang provinsi, sebenarnya Brebes berpeluang menjadi magnet pertumbuhan kota di jalur pantura di luar Semarang.
Apalagi sebagian besar wilayahnya merupakan tanah yang subur, sebagaimana hikayat penamaan kabupaten ini. Konon nama Brebes berasal dari kata mbrebes, atau selalu keluar airnya. Di Brebes ini memang terdapat 101 mata air, tapi baru sedikit yang termanfaatkan untuk pengairan.
Karena kesuburan tanahnya, meski belakangan mulai berkurang, kontribusi sektor pertanian amat dominan dalam kegiatan perekonomian di Brebes. Tahun lalu, produk domestik regional bruto (PDRB) berjumlah Rp 5,381triliun, di mana 52,99 persen di antaranya dari hasil pertanian. Sedangkan perdagangan dan industri pengolahan masing-masing hanya 22,08 dan 9,83 persen saja.
Hingga kini, Brebes masih tercatat sebagai salah satu lumbung padi di Jateng (peringkat keenam), dengan produksi 461.090 ton padi sawah dan 5.458 ton padi gogo. Setiap mendengar bawang merah, ingatan kita selalu tertuju ke kabupaten ini. Dengan produksi 1,682 juta ton/tahun, dari areal seluas 18.681 ha, Brebes selalu berada di peringkat pertama di level provinsi. Daerah ini juga identik dengan peternakan itik dan kerajinan telur asin. Populasi itik di daerah ini tercatat 974.466 ekor, dengan produksi telur mencapai 7.968 ton.
Beberapa Kendala
Pemkab Brebes memang masih dihadapkan pada banyak kendala untuk membangun daerahnya. Pertama, wilayahnya amat luas (166.117 ha) -terluas kedua di Jawa Tengah setelah Cilacap- dengan topografi yang kontras antara daerah bagian utara, tengah, dan selatan. Kedua, jumlah penduduk yang banyak (1.753.071 jiwa), bahkan merupakan yang terbesar di provinsi ini.
Ketiga, tingkat pendidikan mayoritas warganya masih rendah. Sekitar 67,4 persen penduduk hanya lulusan SD, tidak lulus SD, bahkan belum pernah sekolah. Keempat, akibat dari ketiga faktor itu, angka kemiskinan di Brebes masih tinggi. Bahkan indeks pembangunan manusia (IPM)-nya hanya 61,6, atau paling rendah di Jateng.
Menurut Indonesia Human Development Report (2004), jumlah warga miskin di Brebes tercatat 576,7 ribu jiwa atau 33,4 persen dari total populasi. Dari 35 daerah di Jateng, hanya ada satu daerah yang ''melebihi'' angka ini, yaitu Wonosobo (33,8 %). Satu daerah lagi, Rembang, mempunyai persentase warga miskin yang sama dengan Brebes.
Dalam perkembangan terbaru, melalui serangkaian program dan bantuan yang digulirkan Pemkab, jumlah penduduk miskin mulai berkurang menjadi 549.896 jiwa atau 31,37 persen dari total populasi. Namun belum diketahui posisinya dibandingkan daerah-daerah lain di Jateng. Kalau daerah lain boleh dianggap ceteris paribus, posisinya meningkat dua setengah undakan menjadi ke-31.
''Sebenarnya wilayah yang luas dan penduduk yang besar bisa menjadi sumber daya yang potensial. Tetapi dengan kualitas SDM yang masih teramat rendah, Pemkab mesti membenahi dahulu sektor pendidikan dan kesehatan,'' kata Bupati H Indra Kusuma SSos. Dua sektor inilah yang menjadi komponen penting dari IPM yang berlaku secara internasional.
Sebagai investasi nonfisik jangka panjang, terkadang hasilnya tidak dianggap sebagai sebuah keberhasilan tersendiri. Hal ini pun terkait dengan pemahaman kebanyakan masyarakat setempat, bahwa pembangunan selalu dikonotasikan sebagai sesuatu yang bersifat fisik, atau tampak nyata, seperti jalan, jembatan, pasar modern, pusat hiburan, dan sejenisnya.
Anggaran pendidikan dalam APBD 2005 sudah mencapai 18 persen, meski masih kurang dua persen dari amanat yang ''dianjurkan'' UU Sisdiknas. Tetapi kekurangan ini masih dimungkinkan tertutup melalui APBD Perubahan. ''Tahun lalu bahkan mencapai 20 persen, tetapi termasuk anggaran pengadaan buku yang kini jadi masalah. Kali ini 18 persen lebih banyak diarahkan pada kebutuhan peningkatan mutu pendidikan dan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan,'' kata Kedua DPRD HM Nasrudin.
Pemkab Brebes juga berhasil memperjuangkan penambahan anggaran pendidikan di luar APBD. Misalnya memperoleh dukungan dana dari Japan International Cooperation Agency (JICA) dalam Proyek Perbaikan dan Pengembangan Pendidikan Regional (REDIP). Bahkan Brebes pernah menjadi daerah terbaik dalam pelaksanaan program ini. Pemerintah Belanda juga pernah menghibahkan dana sekitar Rp 5,9 miliar untuk membangun gedung SD dan SLTP yang rusak.
Pada sisi tertentu, upaya Pemkab guna menekan laju pertumbuhan penduduk merupakan strategi tepat. Ini bisa dilihat dari pembentukan lembaga baru sebagai pengganti cabang-cabang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang pada era reformasi justru ''dilikuidasi''. Lembaga yang dimaksud adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) Brebes, yang berada di bawah koordinasi Bupati.
Dalam lima tahun terakhir, BKKBD mampu mempertahankan kesertaan masyarakat terhadap program KB. Setahun menjelang pelaksanaan otonomi daerah, jumlah akseptor tercatat 223.397 orang. Kini jumlahnya bertambah menjadi 245.557 orang (Maret 2005). Padahal selepas ambruknya rezim Orde Baru, masyarakat cenderung tidak taat lagi untuk mengikuti program KB (dua anak).
Prestasi Brebes dalam menekan laju pertumbuhan penduduk ini direspons oleh pemerintah pusat. April lalu, Presiden Yudhoyono memberikan penghargaan di bidang KB kepada Indra Kusuma dan 11 bupati/wali kota lainnya di Indonesia di Istana Negara Jakarta. Jika program ini gagal, Brebes akan menjadi daerah pertama di Jateng yang jumlah penduduknya mencapai dua juta jiwa.
Meski hanya didukung dana Rp 344 juta, BKKBD tak menyurutkan langkahnya untuk berkarya. Badan yang dipimpin dokter Hartoyo Suhari itu rutin menggelar layanan (konseling) KB secara gratis di berbagai pelosok desa, dengan sasaran akseptor baru dari keluarga tidak mampu. Tahun ini, lembaga tersebut menyediakan 1.000 set implan secara gratis, dan baru terpasang 300-an implan.
Dalam berbagai kendala ini, pemerintah daerah mampu meningkatkan PAD dari Rp15 miliar (2001) menjadi Rp 25,218 miliar pada tahun lalu. Tahun ini diharapkan meningkat lagi menjadi Rp 31,141 miliar. Sedangkan pendapatan per kapita penduduk yang semula baru Rp 2,019 juta, meningkat menjadi Rp 2,846 juta. Hal ini karena PDRB pun mengalami peningkatan cukup signifikan dari Rp 3,759 triliun pada awal otonomi menjadi Rp 5,381triliun.
Sumber : www.suaramerdeka.com
Ketika Anda memasuki Kota Brebes, atau kecamatan-kecamatan lain, pasti bersepakat bahwa kabupaten ini masih seperti dulu. Belum banyak perubahan fisik yang nyata, kendati Pemerintah Kabupaten (Pemkab) sudah berupaya maksimal dalam mengelola daerah dan berbagai potensinya.
Meski demikian, pembangunan jalan alternatif Bumiayu sepanjang 5,7 km yang diresmikan November 2004 layak diaspresiasi sebagai gagasan brilian Pemkab. Proyek ini tidak sekadar untuk mengurangi kemacetan di pusat Kota Bumiayu, atau mengurangi kepadatan arus kendaraan jurusan Purwokerto-Tegal.
Lebih dari itu, jalan alternatif ini dapat lebih memeratakan pertumbuhan perekonomian daerah, khususnya enam kecamatan di wilayah selatan yang dahulu terkesan ''dianaktirikan'', sehingga memunculkan wacana pembentukan kabupaten sendiri. Jalan alternatif di selatan Bumiayu ini merupakan tahap pertama, karena tahun depan akan dilanjutkan tahap kedua di utara kota kecamatan tersebut.
Sebagai pintu gerbang provinsi, sebenarnya Brebes berpeluang menjadi magnet pertumbuhan kota di jalur pantura di luar Semarang.
Apalagi sebagian besar wilayahnya merupakan tanah yang subur, sebagaimana hikayat penamaan kabupaten ini. Konon nama Brebes berasal dari kata mbrebes, atau selalu keluar airnya. Di Brebes ini memang terdapat 101 mata air, tapi baru sedikit yang termanfaatkan untuk pengairan.
Karena kesuburan tanahnya, meski belakangan mulai berkurang, kontribusi sektor pertanian amat dominan dalam kegiatan perekonomian di Brebes. Tahun lalu, produk domestik regional bruto (PDRB) berjumlah Rp 5,381triliun, di mana 52,99 persen di antaranya dari hasil pertanian. Sedangkan perdagangan dan industri pengolahan masing-masing hanya 22,08 dan 9,83 persen saja.
Hingga kini, Brebes masih tercatat sebagai salah satu lumbung padi di Jateng (peringkat keenam), dengan produksi 461.090 ton padi sawah dan 5.458 ton padi gogo. Setiap mendengar bawang merah, ingatan kita selalu tertuju ke kabupaten ini. Dengan produksi 1,682 juta ton/tahun, dari areal seluas 18.681 ha, Brebes selalu berada di peringkat pertama di level provinsi. Daerah ini juga identik dengan peternakan itik dan kerajinan telur asin. Populasi itik di daerah ini tercatat 974.466 ekor, dengan produksi telur mencapai 7.968 ton.
Beberapa Kendala
Pemkab Brebes memang masih dihadapkan pada banyak kendala untuk membangun daerahnya. Pertama, wilayahnya amat luas (166.117 ha) -terluas kedua di Jawa Tengah setelah Cilacap- dengan topografi yang kontras antara daerah bagian utara, tengah, dan selatan. Kedua, jumlah penduduk yang banyak (1.753.071 jiwa), bahkan merupakan yang terbesar di provinsi ini.
Ketiga, tingkat pendidikan mayoritas warganya masih rendah. Sekitar 67,4 persen penduduk hanya lulusan SD, tidak lulus SD, bahkan belum pernah sekolah. Keempat, akibat dari ketiga faktor itu, angka kemiskinan di Brebes masih tinggi. Bahkan indeks pembangunan manusia (IPM)-nya hanya 61,6, atau paling rendah di Jateng.
Menurut Indonesia Human Development Report (2004), jumlah warga miskin di Brebes tercatat 576,7 ribu jiwa atau 33,4 persen dari total populasi. Dari 35 daerah di Jateng, hanya ada satu daerah yang ''melebihi'' angka ini, yaitu Wonosobo (33,8 %). Satu daerah lagi, Rembang, mempunyai persentase warga miskin yang sama dengan Brebes.
Dalam perkembangan terbaru, melalui serangkaian program dan bantuan yang digulirkan Pemkab, jumlah penduduk miskin mulai berkurang menjadi 549.896 jiwa atau 31,37 persen dari total populasi. Namun belum diketahui posisinya dibandingkan daerah-daerah lain di Jateng. Kalau daerah lain boleh dianggap ceteris paribus, posisinya meningkat dua setengah undakan menjadi ke-31.
''Sebenarnya wilayah yang luas dan penduduk yang besar bisa menjadi sumber daya yang potensial. Tetapi dengan kualitas SDM yang masih teramat rendah, Pemkab mesti membenahi dahulu sektor pendidikan dan kesehatan,'' kata Bupati H Indra Kusuma SSos. Dua sektor inilah yang menjadi komponen penting dari IPM yang berlaku secara internasional.
Sebagai investasi nonfisik jangka panjang, terkadang hasilnya tidak dianggap sebagai sebuah keberhasilan tersendiri. Hal ini pun terkait dengan pemahaman kebanyakan masyarakat setempat, bahwa pembangunan selalu dikonotasikan sebagai sesuatu yang bersifat fisik, atau tampak nyata, seperti jalan, jembatan, pasar modern, pusat hiburan, dan sejenisnya.
Anggaran pendidikan dalam APBD 2005 sudah mencapai 18 persen, meski masih kurang dua persen dari amanat yang ''dianjurkan'' UU Sisdiknas. Tetapi kekurangan ini masih dimungkinkan tertutup melalui APBD Perubahan. ''Tahun lalu bahkan mencapai 20 persen, tetapi termasuk anggaran pengadaan buku yang kini jadi masalah. Kali ini 18 persen lebih banyak diarahkan pada kebutuhan peningkatan mutu pendidikan dan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan,'' kata Kedua DPRD HM Nasrudin.
Pemkab Brebes juga berhasil memperjuangkan penambahan anggaran pendidikan di luar APBD. Misalnya memperoleh dukungan dana dari Japan International Cooperation Agency (JICA) dalam Proyek Perbaikan dan Pengembangan Pendidikan Regional (REDIP). Bahkan Brebes pernah menjadi daerah terbaik dalam pelaksanaan program ini. Pemerintah Belanda juga pernah menghibahkan dana sekitar Rp 5,9 miliar untuk membangun gedung SD dan SLTP yang rusak.
Pada sisi tertentu, upaya Pemkab guna menekan laju pertumbuhan penduduk merupakan strategi tepat. Ini bisa dilihat dari pembentukan lembaga baru sebagai pengganti cabang-cabang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang pada era reformasi justru ''dilikuidasi''. Lembaga yang dimaksud adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) Brebes, yang berada di bawah koordinasi Bupati.
Dalam lima tahun terakhir, BKKBD mampu mempertahankan kesertaan masyarakat terhadap program KB. Setahun menjelang pelaksanaan otonomi daerah, jumlah akseptor tercatat 223.397 orang. Kini jumlahnya bertambah menjadi 245.557 orang (Maret 2005). Padahal selepas ambruknya rezim Orde Baru, masyarakat cenderung tidak taat lagi untuk mengikuti program KB (dua anak).
Prestasi Brebes dalam menekan laju pertumbuhan penduduk ini direspons oleh pemerintah pusat. April lalu, Presiden Yudhoyono memberikan penghargaan di bidang KB kepada Indra Kusuma dan 11 bupati/wali kota lainnya di Indonesia di Istana Negara Jakarta. Jika program ini gagal, Brebes akan menjadi daerah pertama di Jateng yang jumlah penduduknya mencapai dua juta jiwa.
Meski hanya didukung dana Rp 344 juta, BKKBD tak menyurutkan langkahnya untuk berkarya. Badan yang dipimpin dokter Hartoyo Suhari itu rutin menggelar layanan (konseling) KB secara gratis di berbagai pelosok desa, dengan sasaran akseptor baru dari keluarga tidak mampu. Tahun ini, lembaga tersebut menyediakan 1.000 set implan secara gratis, dan baru terpasang 300-an implan.
Dalam berbagai kendala ini, pemerintah daerah mampu meningkatkan PAD dari Rp15 miliar (2001) menjadi Rp 25,218 miliar pada tahun lalu. Tahun ini diharapkan meningkat lagi menjadi Rp 31,141 miliar. Sedangkan pendapatan per kapita penduduk yang semula baru Rp 2,019 juta, meningkat menjadi Rp 2,846 juta. Hal ini karena PDRB pun mengalami peningkatan cukup signifikan dari Rp 3,759 triliun pada awal otonomi menjadi Rp 5,381triliun.
Sumber : www.suaramerdeka.com
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home